Kamis, 23 Desember 2010

Ciri-ciri Anak Kreatif



Beberapa ciri anak kreatif antara lain adalah sebagai berikut :
Lancar berpikir
Ia bisa memberi banyak jawaban terhadap suatu pertanyaan yang Anda berikan. Inilah salah satu kehebatan anak kreatif.
Ia mampu memberikan banyak solusi dari sebuah masalah yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat penting untuk dikembangkan. Dunia ini penuh masalah dan tantangan. Semakin kreatif seseorang, maka ia akan dengan mudah menjawab semua masalah dan tantangan hidupnya dengan kreativitasnya.
Fleksibel dalam berpikir
Ia mampu memberi jawaban bervariasi, dapat melihat sutu masalahdalam berbagai sudut pandang (fleksibilitas), shg  ia akan dengan mudah menyesuaikan diri dalam berbagai keadaan.
Orisinil (asli) dalam berpikir
Ia dapat memberi jawaban-jawaban yang jarang diberikan anak lain. Jawaban baru biasanya tidak lazim atau kadang tak terpikirkan orang lain.
Elaborasi
Ia mampu menggabungkan atau memberi gagasan-gagasan atas jawaban yang dikemukakan, sehingga ia mampu untuk mengembangkan, memperkaya jawabannya dengan memperinci sampai hal-hal kecil
Semua ciri-ciri anak kreatif tersebut  bisa dikembangkan. Jadi bukan semata keturunan seorang anak bisa menjadi kreatif. Namun peran Anda sebagai orang tua juga sangat berpengaruh bagi perkembangan kreativitasnya.
Sumber: http://isrona.wordpress.com

Metode Kreatif Mengajar Matematika

Berikut ini ada beberapa aktifitas di kelas untuk menumbuhkan kreativitas dalam pengajaran matematika. Dalam pengajaran, sering-seringlah mengajukan pertanyaan kritis seperti “Apakah Kamu mencoba ini?” “Apa yang akan terjadi jika ada ini ?” “Apakah kamu dapat?” untuk meningkatkan pemahaman peserta didik dari ide-ide dan kosakata matematika. Berikut beberapa aktifitas yang mungkin dapat dipraktekkan di kelas:
  1. Gunakan dramatisasi. Ajaklah peserta didik berpura-pura berada di sebuah bola (sphere) atau kotak (prisma), merasakan sisi-sisinya, ujung-ujungnya, dan sudutnya dan menyandiwarakan secara sederhana masalah aritmatika seperti: Tiga katak melompat dalam kolam dsb.
  2. Menggunakan anggota tubuh peserta didik. Menyarankan agar peserta didik menunjukkan berapa banyak kaki, mulut, dan sebagainya. Ketika diminta untuk menampilkan “tiga tangan,” mereka akan menanggapi dengan protes keras, dan kemudian menunjukkan berapa banyak tangan yang mereka memiliki( “membuktikan”) ini. Kemudian mengajak peserta didik untuk menampilkan nomor dengan jari, dimulai dengan pertanyaaan sederhana, “Berapa usia Kamu?” Kemudian siswa diminta menunjukkan angka yang diminta guru. Selain itu guru menampilkan angka dalam berbagai cara (misalnya, menunjukkan lima dengan tiga pada jari tangan kiri dan dua di jari tangan kanan).
  3. Menggunakan permainan. Melibatkan peserta didik bermain yang memungkinkan mereka untuk melakukan matematika dalam berbagai cara, termasuk pengurutan, menciptakan bentuk simetris dan bangunan, membuat pola, dan sebagainya. Kemudian memperkenalkan permainan jual-beli di toko, menunjukkan anak-anak permainan membeli dan menjual mainan atau benda kecil lainnya, belajar menghitung, aritmatika, dan konsep uang.
  4. Menggunakan mainan. Mendorong peserta didik untuk menggunakan “adegan” dan mainan untuk simulasi kejadian nyata, seperti tiga mobil di jalan, atau misalnya, untuk menunjukkan ada dua monyet di atas pohon dan dua di atas tanah.
  5. Menggunakan cerita peserta didik. Bercerita tentang sebuah kisah menarik yang didalamnya berisi konsep matematika. Jika perlu diperagakan khususnya untuk memperjelas konsep matematikanya.
  6. Gunakan kreativitas alami peserta didik. Menggali ide anak tentang matematika harus didiskusikan dengan mereka. Misal seorang anak 6 tahun ditanya begini: “Pikirkan angka terbesar yang kamu tahu, lalu tambah angka itu dengan lima. Bayangkan kamu memiliki coklat sejumlah angka itu”. “Wow, itu 5 angka lebih besar yang kamu tahu”.
  7. Menggunakan kemampuan pemecahan masalah. Menanyakan anak-anak untuk menjelaskan bagaimana mereka mengetahui masalah-masalah seperti mendapatkan hanya cukup untuk mereka gunting tabel atau berapa banyak makanan ringan mereka perlu jika tamu yang bergabung dengan grup. Mendorong mereka untuk menggunakan jari-jari mereka sendiri atau apapun yang mungkin berguna untuk memecahkan masalah.
  8. Menggunakan berbagai strategi. Bawalah matematika dimanapun di dalam kelas, dari menghitung jumlah peserta didik di pagi hari, menghitung meja kursi, meminta anak-anak untuk membersihkan barang yang ada nomor tertentu, atau membersihkan barang yang berbentuk geometris tertentu dsb.
  9. Menggunakan teknologi. Cobalah gunakan kamera digital untuk memotret hasil kerja peserta didik, permainan dan aktifitas yang dilakukan, dan kemudian menggunakan foto untuk diskusi dengan peserta didik, perencanaan kurikulum, dan komunikasi dengan orang tua. Gunakan juga teknologi lain, seperti komputer secara bijak.
  10. Gunakan assessment untuk mengukur penilaian anak-anak belajar matematika. Menggunakan observasi, diskusi dengan peserta didik, dan kelompok-kecil untuk kegiatan belajar anak-anak tentang matematika dan berpikir untuk membuat keputusan tentang apa yang mungkin setiap peserta didik dapat belajar dari pengalaman. Juga mencoba menggunakan komputer untuk penilaian menggunakan program secara otomatis. (Sumber: http://saungdedimlyd.web.id)

Menjadi Guru Inspiratif

Melihat kondisi pendidikan/system sekolah umumnya di Indonesia, guru-guru memang terbelenggu oleh ketentuan administrative yang harus dipatuhi seperti target pencapaian kurikulum, ketuntasan belajar, silabus, RPP dan sebagainya. Sesuai dengan ketentuan yang ada bahwa wujud pelaksanaan pendidikan di sekolah tertuang dalam bentuk kegiatan intra kurikuler dan ekstrakurikuler. 
Dalam kegiatan intrakurikuler sangat jarang guru dalam interaksinya dengan murid-muridnya mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki mereka. Padahal tujuan pendidikan yaitu pengembangan secara menyeluruh dari seluruh potensi anak didik melalui kreatifitas dan berpikir kreatif. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan memiliki arti sebagai pengembangan potensi manusia. Dengan demikian proses pendidikan yang ada di sekolah mestinya tidak hanya melulu berorientasi pada aspek kognitifnya saja atau dengan kata lain lebih mengacu pada perolehan nilai tetapi juga harus bisa mengembangkan nilai-nilai lain seperti emosional, kepribadian, spiritual dan social. Akan tetapi yang terjadi di lapangan peran  guru lebih banyak mengajar dari pada mendidik. Artinya ketika guru masuk ke ruang kelas maka yang dilakukan hanya menyampaikan materi yang ada di buku atau dengan kata lain bersifat curriculum oriented (terjebak pada kegiatan pencapaian target kurikulum), dan  bersifat content oriented atau pencapaian tujuan kognitif yang malah jauh dari pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. 
Sedangkan pada kegiatan ekstrakurikuler pembinaan dan pengembangan potensi belum mendapatkan proporsi yang sewajarnya. Padahal kegiatan ekstrakurikuler diharapkan mampu mengembangkan potensi anak didik diluar potensi akademiknya. Sejatinya kegiatan ekstrakurikuler (baca: pembinaan kesiswaan) mengarahkan dan mengembangkan potensi anak didik untuk berwawasan masa depan (looking forward), memiliki keteraturan pribadi (self regulation) dan memiliki rasa kepedulian social yang baik (holy social sense)  Bagaimana seharusnya peran guru?          
Kegiatan Intrakurikuler yang terjadi sekolah yang dilakukan oleh guru dan peserta didik sudah saatnya diubah paradigmanya. Perlu pendekatan lain yang dilakukan oleh guru ketika berinteraksi dalam proses pembelajaran. Selama ini guru lebih menekankan pada pendekatan intelektual/intelgensia atau hanya mengejar nilai. Sedangkan ketrampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak untuk mencontek atau melakukan usaha-usaha yang tidak baik karena tuntutan angka  sehingga nilai-nilai pendidikan terabaikan. Menurut pendapat saya ada 3 pendekatan yang bisa dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran dikelas:

1.  Melalui Pendekatan Kecerdasan Emosional  
Otak manusia terdiri ari dua lapisan yaitu lapisan luar (neo cortrex) dan lapisan tengah (limbic system). Di wilayah lapisan luar otal, manusai -atas ijin Allah- mampu berhitung, mengoperasikan computer, mempelajari bahasa Inggris, dan perhitungan yang rumit lainnya. Melalui penggunaan otak neo-cortex inilah lahir intelegence quotient/IQ atau kemampuan intelektual (Ary Ginanjar A: Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power). Kecerdasa ini berkaitan dengan kesadaran terhadap ruang, kesadaran pada sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika. Sedangkan pada lapisan tengah  otak (limbic system)  terletak pengendali emosi dan perasan manusia yang memungkinkan manusia luwes dalam bergaul, penolong sesama, setia kawan dan bertanggung jawab. Perilaku inilah yang disebut kecerdasan emosional/EQ (emotional quotient) yang dapat dimaknai serangkaian kecakapan untuk melapangkan jalan di dunia yang penuh liku-liku permasalahan social. Pada ranah inilah saya pikir, guru bisa membangkitkan potensi anak didiknya untuk menempuh kesuksesan dengan mengembangkan rasa simpati dan empati pada sesama, sifat kerja keras dan bertanggung jawab. Menurut penelitian yang dilakukan oleh pakar psikolog yaitu Steven J. Stein dan Howard E. Book, bahwa IQ hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20%, bahkan hanya 6%. Jadi pendekatan emosional yang dilakukan guru terhadap siswanya ketika interaksi di kelas, bisa mendorong siswa untuk sukses dengan tidak hanya mengandalkan dari sisi IQ-nya saja. Pendekatan emosional yang bisa dilakukan misalnya dengan selalu menebarkan energi positif pada anak didik, toleransi terhadap ketidaksempurnaan, dan mencintai sepenuh hati anak didik dengan perbedaan yang dimiliki mereka.                                                                           
2. Melalui Pendekatan Kecerdasan Spiritual
Pada ranah ini, pendekatan yang harus dilakukan oleh guru adalah meningkatkan potensi siswa dengan membangkitkan spiritual quotient dengan cara menanamkan/mengajarkan  nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam agama. Pondasi dari kecerdasan spiritual adalah Ihsan. Ihsan berasal dari kata husn yang artinya sesuatu yang baik dan indah. Dalam  pengertian umum bisa bermakna positif termasuk kejujuran, kebajikan, keindahan dan keramahan. Ihsan dalam belajar atau bekerja adalah bagaimana seseorang dapat belajar/bekerja dengan jujur dan amanah dan mengerjakan sesuatunya secara benar-sesuai peraturan yang ditetapkan. Jika Allah saja mengerjakan sesuatu yang indah dalam berhubungan dengan makhluknya maka manusia dituntut pula untuk berbuat kebaikan atau keindahan. Alhasil ihsan adalah berbuat baik seolah-olah seseorang melihat Allah. Saya pikir hal inilah yang bisa guru tanamkan kepada setiap anak didik/siswa bahwa setiap yang dilakukan oleh kita manusia adalah bernilai ibadah dan sebagai manusia harus bisa memberi manfaat bagi manusia yang lain.   
                 
3.   Melalui Pendekatan Kecerdasan Sosial
Menurut Edward L. Thondrike kecerdasan social (socialintelligence) adalah kemampuan untuk saling mengerti sesama manusia dan bijaksana dalam hubungan sesama manusia. Dia menegaskan kecerdasan sosial berbeda dengan kemampuan akademik. Saat ini banyak tudingan terhadap dunia pendidikan dimana produk pendidikan kita adalah manusia-manusia yang biasa menyikut orang untuk mempertahankan kepentingannya karena kurikulum ternyata mendorong orang semakin cerdas sekaligus menyuburkan sikap-sikap individualistic alias mementingkan diri sendiri. Gaya hidup ini menghapus bersih sikap kerja sama, tenggang rasa, simpati, empati dan budi pekerti yang luhur. Bayangkan bila penguasa masa depan adalah produk dari dunia pendidikan seperti ini. William Chang, seorang pemerhati social menyebut fenomena ini menghasilkan manusia yang bereaksi lamban. Kelambanan bereaksi ditafsirkan akibat rendahnya kecerdasan sosial.    Sisi inilah yang barangkali bisa digali dan dikembangkan oleh guru pada anak didiknya. Harus disadari bahwa latar belakang sosial anak didik berbeda-beda baik suku, bahasa, agama, bahkan tingkat ekonominya. Disisi lain manusia sebagai makhluk social tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu penting kiranya mengembangkan sikap kerja sama, tenggang rasa, simpati, empati dan budi pekerti yang luhur pada setiap anak didik. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan mempraktekan 5 S (senyum, sapa, salam, sabar dan syukur).                                                                               
Mudah-mudahan melalui 3 pendekatan ini, guru bisa menjadi inspirasi bagi setiap anak didik untuk bisa sukses dalam kehidupannya baik ketika dia bekerja maupun ketika menjadi pemimpin. (Sumber: http://harysmk3.wordpress.com)

Profil Madrasah

Nama Sekolah                : MIS NURUL HUDA
Alamat                            : Desa Kembangan Kec. Bonang Kab. Demak

Nama Kepala Madrasah : Mushonifin, S. Pd.I
Telepon                           : 082892492976
Status                              : Terakreditasi B
Tahun Pendirian              : 1966
Tahun Operasional          : 1967
E-mail                             : minurulhuda_kembangan@yahoo.co.id Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya
Website                          : www.minurulhudakembangan.blogspot.com

Sekilas Tentang MI Nurul Huda Kembangan

MI Nurul Huda adalah sekolah yang berada di Jl.Raya Kalikondang-Bonag KM 5. tepatnya di Desa Kembangan Kecamatan Bonang Kabupaten Demak. bila ditempuh dari Demak memakan waktu sekitar 45 menit, Madrasah ini didirikan tahun 1967 oleh masyarakat desa Kembangan kec. Bonang kab. Demak, pengelolaannya dilaksanakan oleh Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda Kembangan